Sejenak aku melangkah, dalam kehanyutan sepi yang telah meronai diriku. Hilang sudah semua rasa, cinta, hidup dan harapan. Setiap langkahku aku getarkan roda cinta dalam kasih putih. Sedih dalam kebanggaan, indah dalam kemusnahan. Mula-mula aku bertasbih. Mencari jati diriku yang sebenarnya. Awan gelap menyelimuti kerenunganku, hingga kudekap mesra melembut dalam keindahan. Harapan hanyalah harapan, kataku. Meskipun aku berharap, tak berharap, itu saja masih terasa berat.
Malaikat penjemput sebentar lagi menghampiriku. Memberikan keindahan senyumnya yang terasa indah pada ujung nafasku. Duniapun meronta, begitupula aku….. Dimana sanubari yang memberikan keabsahan cinta dalam pandangan suci manusia? Oh……..tanyaku dalam bisu. Mereka sadar, mereka tahu bahwa aku bukanlah apa, siapa, guna, dan cita. Aku hanyalah lempung yang diinjak dengan tangan, kemudian diputar dan dibakar sampai hilang akal. Ya, tapi aku adalah sesuatu, gumamku dengan semangat. Aku adalah sesuatu yang tidak dapat dengan enaknya dimainkan oleh manusia. Aku bernyawa dan aku berdosa. Keharuman wangi tubuhku telah membangkitkanku dalam harapan. Harapan yang indah yang terisi oleh sanubari cinta.
Kegelapan jiwa mulai aku hilangkan. Kucari kesucian hati yang ingin menjadi sebuah jawab. Kekekalan bukanlah suatu alami, melainkan sesuatu keabadian pada fananya dunia. Menghilangkan adalah sesuatu perbuatan yang jenuh dan jemu. Fajar pagi haripun tak bisa menjawabnya, bahwa kekal itu belum tentu abadi. Aku bukanlah seorang feminis, marxis, ataupun animis. Tapi aku tahu bahwa dunia ini tidaklah kekal, namun cintaku abadi selamanya bersamaMu.